Bahan Berita - Anda tentu ingat kasus hakim Dwi Djanuwanto dari
Pengadilan Negeri Yogyakarta. Komisi Yudisial memecat dia lantaran
terbukti melanggar kode etik. Dia memesan penari telanjang kepada orang
berperkara sedang dia tangani. Kasus serupa juga menjerat hakim Dainuri
di Aceh. Dia terbukti menerima suap syahwat dari orang berperkara.
Menurut
Koordinator Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI) Jamil Mubarok, ada
banyak modus suap syahwat. Ada yang diberikan di awal sebagai pelicin,
di tengah perundingan, atau di akhir sebagai hadiah atas bantuan si
penerima. ”Jadi memang ada dan banyak sekali kasus-kasus seperti itu,”
kata dia,
Jamil beberapa waktu lalu melakukan penelitian berjudul
Menjerat Penyuap dan Pelayan Suap Seks. Lalu bagaimana modus suap seks
ini. Berikut petikan wawancara
Muhammad Taufik dari
merdeka.com dengan Jamil Mubarok, peneliti MTI, melalui telepon, Selasa (5/2):
Menurut hasil penelitian Anda, apakah suap seks benar-benar ada?
Ada
dan banyak sekali kasus seperti itu. Kasus ini tidak tampak karena
penegakannya nyaris tidak ada. Suap seks itu biasanya untuk mendekatkan
komunikasi antara si pemberi dan penerima. Pada dasarnya suap seks itu
tidak berdiri sendiri Karena temuan kami di lapangan, suap seks cuma
sebagai pelengkap saja. Penyuap sudah memberi uang sebagai fasilitas
suap. Jarang ditemukan orang dikasih suap seks tanpa dikasih uang.
Bagaimana dengan modus suap atau gratifikasi seks?
Modusnya
beraneka ragam. Ada gratifikasi seks itu diberikan di awal, ada di
pertengahan atau di akhir. Di awal itu biasanya sebagai pelicin awal,
sebagai pancingan dari si pemberi komisi terhadap si penerima. Kalau di
pertengahan, biasanya sebagai media untuk negosiasi. Karena kesepakatan
diinginkan antara si pemberi dan penerima suap tidak selamanya mulus.
Di
situ juga terjadi tawar menawar harga, negosiasi angka karena
persentasenya kurang, karena harus ada setoran-setoran. Akhirnya ada
kerenggangan hubungan, sehingga memaksa si pemberi menyediakan suap seks
sebagai alat negosiasi. Kalau di pertengahan, biasanya pelayan seks itu
sebagai alat negosiasi.
Nah, kalau suap seks di akhir, biasanya
memang hadiah dari si pemberi atas semua proses sudah dilakukan si
penerima. Uang sudah dikasih, kebijakan sudah diubah, kemudian suap seks
diberikan sebagai hadiah cuma-cuma. Tetapi sebenarnya itu juga bukan
suap cuma-cuma, justru sebagai saham untuk memperlancar suap
selanjutrnya.
Itu sebenarnya berbahaya karena suap seks di akhir
biasanya dijadikan kartu truf oleh pemberi dan akhirnya digunakan
menjerat penyelenggara negara. Nanti Itu bisa dijadikan sebagai alat
peras untuk menakut-nakuti penyelenggara negara. Tetapi ada juga hanya
hadiah setelah bekerja sama dengan baik.
Tarifnya sampai berapa?
Sebelum saya bicara tarif, saya akan bicara dulu pola umum temuannya.
Bagaimana pola temuan kasus suap seks itu?
Saya
ingin menyebut beberapa contoh kasus. Ini biasanya lazim terjadi bagi
auditor, pengawas, penyidik kepolisian atau kejaksaan, atau
penyelenggara negara datang ke daerah. Atau,
penyelenggara negara ketika
datang ke instansi tertentu. Fasilitas suap untuk mereka semuanya sudah
disediakan. Bahkan hotel, tiket perjalanan, perlengkapan, berikutya
perempuannya dikasih.
Dari mana Anda mendapatkan data. Apakah ada pengakuan atau pengaduan?
Saya
melakukan wawancara. Terutama ke teman-teman penegak hukum, penyidik
kejaksaan, kepolisian, dan lainnya. Dari pengalaman mereka, saya ambil
banyak sekali data, kemudian kami memverifikasi ke lapangan. Kasus-kasus
saya ambil kemudian kami verifikasi.
Lalu sejak kapan suap atau gratifikasi seks muncul?
Kalau
dari sejarah Indonesia, tahun 1967 sudah pernah muncul kasus di
persidangan. Waktu itu gubernur Bank Indonesia (BI) memakai dana BI
untuk berpesta dengan perempuan–perempuan. Yang terbaru, paling
fenomenal justru bukan urusan korupsi tetapi pelanggaran etik. Hakim
Pengadilan Negeri Yogyakarta, Dwi Djanuwanto, dipecat atau ditindak oleh
Komisi Yudisial karena terbukti meminta, memesan penari telanjang
kepada orang berperkara sedang dia tangani.
Kemudian kasus
seorang hakim di Aceh, Dainuri, dia mendapat suap syahwat dari perempuan
berperkara. Ini bukti, pada dasarnya gratifikasi seks bisa dibuktikan
dan dijerat. Karena undang-undang kita sudah sangat komprehensif. Pasal
184 ayat 1 Kitab Undang-undang
Hukum Acara Pidana (KUHAP) tentang Alat
Bukti itu banyak. Ada keterangan saksi, keterangan terdakwa, keterangan
ahli atau surat, dan bukti petunjuk penyadapan kalau KPK. Cukup dua alat
bukti saja bisa dijerat
.
Apakah penelitian hanya fokus pada penegak hukum?
Penelitian
saya itu lebih pada pembuktian yuridis. Bagaimana menerapkan pasal ke
dalam kasus-kasus. Seperti saya tanyakan kepada penyidik kasus-kasus
pernah mereka tangani tetapi tidak mereka lanjutkan. Menurut mereka,
orang-orang itu sudah bisa dijerat dengan gratifikasi. Tetapi kadang
begini, ada penyidik bicara ke saya, ada pejabat publik ditangkap,
kemudian dia punya perempuan simpanan.
Misalkan ketika pejabat
terkena kasus dan ditangkap, lalu diinterogasi, terus penyidik tahu dia
memiliki perempuan simpanan. Saat diinterogasi pejabat bungkam. Maka
penyidik tahu menakut-nakuti pejabat itu dengan cara akan memberi tahu
istrinya tentang perempuan simpanan tadi. Rupanya mereka (para pejabat)
takut sekali. Jadi ada juga masalah seperti itu sebagai alat interogasi.
Apakah suap seks memang paling efektif atau hanya suplemen saja?
Betul.
Suap atau gratifikasi seks ini hanya untuk suplemen saja. Karena pada
dasarnya, orang kalau sudah bicara seks saja sudah terasa akrab, terasa
lebih dekat. Hanya sebagai bumbu suap saja. Jadi suap itu dibumbui
dengan perempuan-perempuan, jadilah suap seks.
Biodata
Nama:
Jamil Mubarok
Tempat dan Tanggal Lahir:
Tasikmalaya, 6 November 1981
Agama:
Islam
Pendidikan Formal:
Fakultas Hukum Universitas Pancasila, Jakarta (2000-2005)
Magister Ilmu Hukum di Fakultas Hukum Universitas Pancasila, Jakarta (sedang berlangsung)
Pendidikan Non-Formal:
Program pelatihan di Global Legal Information Network (GLIN) Library of Congress, Washington DC (2007)
Legal Drafting Training, Indonesian Jentera Law School, Bali (2011)
Pengalaman:
Tim
Analisa Job Description and Staffing Assessment Mahkamah Agung for
MCC’s Project (Millennium Challenge Corporation - ICCP) (2008-2009)
Tim Kelompok Kerja Penilai Organisasi dan Inventori Kumpulan Peraturan Mahkamah Agung RI tahun 1955-2008 (2009)
Asisiten Peneliti untuk Penyusunan Rencana Induk Mahkamah Agung 2009-2035 (2009-2010)
Koordinator Peneliti untuk Pemetaan Masalah Pengadilan Pajak di Indonesia, NLRP (National Legal Reform Program) (2010)
Peneliti dan Editor untuk penyusunan buku Kapita Selekta Kasus-kasus Korupsi di Indonesia; Putusan-putusan Mahkamah Agung (2010)
Peneliti dan Editor untuk penyusunan buku Politik Hukum Pemberantasan Korupsi Tiga Zaman (2010)
Koordinator
Tim Perumus Naskah Akademik Rancangan Undang-undang tentang Perubahan
atas Undang-undang Nomor 14 Tahun 2002 Pengadilan Pajak versi
Masyarakat, NLRP (National Legal Reform Program) (2010)
Peneliti dalam Penyusunan Rancangan Undang-undang Pengadaan Barang dan Jasa versi Masyarakat (2011)
Koordinator Tim Ad Hoc Panitia Seleksi Calon Pimpinan KPK 2011-2015 (2011)
Peneliti Penegakan Kode Etik Partai Politik di Indonesia (2011)
Peneliti
Divisi Hukum dan Peradilan MTI – Masyarakat Transparansi Indonesia (The
Indonesian Society for Transparency) (2008-2010)
Koordinator MTI (2010-sekarang)